Kumpulan Tulisan H. Amri Darwis,-Sebenarnya ada
suatu persoalan yang sangat memalukan, terutama bagi sebuah bangsa besar yang
hidup dalam peradaban ketimuran, penuh santun dan etika, kaya tatanan adat dan
ta’at beribadat. Persoalan yang paling tidak proposional dan professional itu,
terjadi begitu saja didepan hidung kita. Persoaalan yang justru kalau
diterapkan sesuai porsinya, justru tidak akan menimbulkan masalah.
Setelah beberapa kali survey
yang dilakukan oleh Political Economical Risk Consultancy, Indonesia selalu
berada di peringkat atas dalam hak KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Tentu saja
hal tersebut merupakan masalah besar buat bangsa ini.
Namun demikian, untuk saat ini,
kalaupun belum ada kemampuan kita untuk mengenyahkan KKN dari berbagai aspek
kehidupan, setidaknya secara objektif, kita mengetahui paling tidak ada 4
penyebab yang mendorong tumbuh kembangnya KKN tersebut yaitu:
1.
Kebutuhan Lebih Besar dari
Pendapatan
Diakui
atau tidak, yang jelas tingkat
pendapatan resmi pegawai pemerintah memang masih jauh dari tingkat
kebutuhan. Sementara itu kemajuan teknologi, paling tidak menjadi salah satu
penyebab suburnya budaya Konsumerisme di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai
contoh: seorang Hafizh Al Quran di Singapura, berpendapatan 300 dolar singapura /bulan, sementara di
Malasyia, pekerja biasa bergaji 350
ringgit/bulan, sedangkan di Indonesia, dengan UMR yang sepertiganya, harus
menghadapi system yang korup. Untuk mencap SIM dan paspor saja, yang
notabenenya menggunakan jempol sendiri, kita harus membayar, conto yang lain
sungguh begitu banyak, barangkali pengalaman kita berbeda-beda, tapi bias
diyakini, kalau situasi yang demikian memang tengah melanda.
2.
Ahklak dan Mental Sudah Runtuh
Kalau
ada tokoh nasional yang mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya di bangsa
kita, rasanya sulit untuk membantahnya. Tentu saja besarnya uang rakyat yang di
korupsi, sesuai dengan tinggi rendahya kedudukan seseorang. Bertambah tinggi
kedudukan seseorang, akan bertambah besar pula jumlah nilai korupsi yang
berpeluang mereka lakukan.
Bila
seorang pegawai rendahan yang bertugas memfoto copy dokumen, lalu memanfaatkan
untuk kepentingan pribadi 10 lembar kertas per hari, berapa rim kertas yang
menyimpang dari penggunaan seharusnya diseluruh instansi pemerintah.
Kita
sering geleng-geleng kepala, melihat seorang pejabat Negara, yang berpendapatan
resmi hanya cukup untuk biaya kebutuhan keluarga sehari-hari, tapi mampu
membeli beberapa rumah dan mobil mewah.
Aneh memang, tetapi begitulah kenyataanya.
3.
Pengawasan Yang Tidak
Efektif
Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa oknum petugas dari suatu instansi yang bertanggung jawab, dalam memeriksa
penggunaan dana pemerintah, lebih sering mencari penyimpangan bukan untuk
menindaknya, tapi untuk memperkuat
posisi tawar menawar upeti, guna meringankan, bahkan menghapuskan penyimpangan
yang ditemui mereka. Termasuk pemeriksaan yang dilakukan instansi pemerintah
terhadap sektor swasta.
4.
Tradisi Masyarakat Yang
Salah
Apabila
sesorang menjadi pejabat, maka anggota keluarga yang harus disantuni dan
dipenuhi kebutuhanya, mendadak menjadi banyak. Sering seorang pejabat, karena
menjaga reputasi dimata keluarga, berusaha untuk membuktikan , bahwa mereka
mampu menyenangkan semua kerabat mereka. Sayangnya, sering dilihat dari aspek
materi saja oleh orang-orang disekelilingnya.
Di
samping hal-hal tersebut diatas, maih ada masalah subtansial yang memperburuk
situasi, yaitu:
a.
Sistem pembangunan dan
pendidikan yang keliru. Negara kita adalah Negara agraris dan bahari, sekarang
ada berapa Lembaga Pendidikan di bidang tersebut?kalaupun ada, tentu saja masih
belum memadai.
b.
Kerancuan instansi Negara,
di mana adanya kedudukan lembaga Negara yang tumpang tindih .
c.
Lemahnya penegakan hokum
Oleh karena itu solusi yang dapat
ditempuh adalah
a.
Membangun sistem yang benar, dimana kewenangan
institusi menjadi proposional.
b.
Sistem pembangunan dan
pendidikan disesuaikan dengan potensi alam dan gografis.
c.
Meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan menyediakan fasilitas pendidikan, kesehatan yang terjangkau.
d.
Melakukan system reward and
punishment yang membuat pelaku-pelaku pelanggaran terhadap ketentuan yang
berlaku menjadi jera untuk mengulangi perbuatan mereka. Misalnya, hukum potong
jari dan dikucilkan di tempat yang terpencil, bagi koruptor yang menggerogoti
harta rakyat.
Prasyarat mutlak
untuk berhasilnya usaha ini, harus ada kesamaan nawaitu, keinginan dan
persepsi dari seluruh anak bangsa. Nah, tentu saja hal itu terpulang kepada
keinginan individual, terutama nurani para elite pimpinan itu sendiri untuk mau
atau tidaknya merubah keadaan seperti ini.